PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DIREKSI YANG DIBERHENTIKAN MELALUI KEPUTUSAN SIRKULER YANG TIDAK SAH

(Studi Perbandingan Indonesia, Singapura, Britania Raya, dan Australia)

Viony Ferencia1, T. Keizerina D.A2, Windha3

1,2,3 University of North Sumatera, Indonesia

*Correspondence Email : (vionyferencia19@gmail.com)

Article

Abstract

DOI :

10.71087/ajlr.vxix.xx

 

How to Cite :

Penulis, "Judul Artikel", Acten Journal Law Review xx, No. xx, (20xx): xx-xx

Circular resolution is one of the decision-making mechanisms by shareholders other than the GMS has become one of the mechanisms often used by shareholders to make decisions in limited companies. However, the use of circular resolutions is inseparable from potential juridical problems, among others related to abuse of authority, especially in the context of dismissal of members of the board of directors. This article aims to examine the utilization of circular resolutions in the limited liability company system in Indonesia, both in terms of normative application and risk implications. In addition, this research also compares the legal systems in Singapore, the United Kingdom, and Australia in order to obtain a more comprehensive perspective on the regulation of the circular resolution mechanism. The method used is normative law. The nature of the research is prescriptive using secondary data obtained through data collection and data analysis techniques. The research approach uses a statutory approach, case approach, and comparative approach. The results show that legal protection for directors who are dismissed through circular decisions is not yet optimal. This is due to the regulation regarding circular decisions in Indonesia which is currently limited to only 1 (one) article, and there is no further regulation regarding procedures, time periods, and no restrictions on the use of circular decisions, so that it has the potential to cause legal uncertainty and less than optimal legal protection for PT directors in Indonesia. Therefore, to ensure legal certainty and optimal legal protection for directors, it is necessary to have bright and clear arrangements related to circular decisions that present progressive positive law in mitigating the risk of misuse of circular decisions in Indonesia.

Keywords : Circular resolutions; Legal Protection; Dismissal; Directors

Acten Journal Law Review is a journal published by Matra Cendikia Abadi, under a Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International License.

 

Submitted: xx-xx-20xx  |  Reviewed: xx-xx-20xx  |  Accepted: xx-xx-20xx

Published at https://journal.matracendikia.id/ajlr, on xx xxxxx 20xx

(Informasi Publikasi Diisi Oleh Editor)

I. PENDAHULUAN

Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut sebagai PT dalam penulisan ini) merupakan bentuk badan hukum yang paling sempurna dan populer di antara badan hukum yang lainnya.[1] Sebagai badan hukum yang mandiri, PT memiliki keberadaan yang terpisah dari para pemegang saham serta harta kekayaan yang terpisah.[2] Keberpisahan tersebut menyebabkan PT memerlukan suatu  organ untuk melakukan segala perbuatan hukum dan hubungan hukum, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (selanjutnya disebut sebagai UU PT) Pasal 1 angka 2, yang mewajibkan PT untuk memiliki 3 (tiga) organ, yaitu: Direksi, Dewan Komisaris, dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).[3]

Direksi merupakan organ yang bertanggung jawab atas segala pengurusan perseroan dan berhak untuk mewakili perseroan baik di dalam ataupun di luar pengadilan, sedangkan dewan komisaris bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan atas kebijakan perseroan dan memberi nasihat kepada direksi.[4] Sedangkan RUPS merupakan organ yang memiliki kewenangan eksklusif, karena berfungsi sebagai forum bagi para pemegang saham untuk menyampaikan hak suaranya dalam rangka pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan. Secara umum, pelaksanaan RUPS membutuhkan kehadiran fisik para pemegang saham guna membahas dan memutuskan hal-hal strategis bagi perseroan. Akan tetapi, dalam praktiknya RUPS mengalami hambatan, khususnya terkait dengan kesulitan menghimpun seluruh pemegang saham untuk hadir secara bersamaan.[5]

Menyikapi hal tersebut, UU PT memberikan alternatif mekanisme pengambilan keputusan oleh pemegang saham tanpa harus mengadakan pertemuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah keputusan sirkuler (circular resolution), yaitu suatu bentuk pengambilan keputusan oleh seluruh pemegang saham di luar forum RUPS.[6] Keputusan sirkuler dapat memiliki kekuatan hukum yang mengikat selayaknya RUPS, apabila keputusan tersebut mendapatkan persetujuan dari seluruh pemegang saham.[7] Dengan demikian, syarat keabsahan keputusan sirkuler adalah persetujuan bulat para pemegang saham. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak semua pemegang saham mematuhi ketentuan UU PT tersebut, khususnya terkait dengan mekanisme pemberhentian direksi melalui keputusan sirkuler yang diatur dalam Pasal 105 ayat (3) UU PT, sebagaimana yang terlihat dalam contoh kasus Putusan Perdata Nomor 508/PDT.G/2021/PN JKT.PST. Kasus tersebut dilatarbelakangi oleh penerbitan keputusan sirkuler oleh para pemegang saham mengenai penggantian dan pemberhentian direksi yang diadakan tanpa memberikan direksi yang bersangkutan kesempatan untuk membela dirinya.  Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan pengaturan mengenai keputusan sirkuler di dalam UU PT masih menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu tidak ada pengaturan mengenai prosedur dan jangka waktu penggunaan keputusan sirkuler, serta tidak ada pembatasan penggunaan keputusan sirkuler.[8] Akibatnya, para pemegang saham dapat memanfaatkan celah hukum tersebut untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan kaidah kesusilaan dan kepatutan dalam lingkungan perseroan.

 Jan M. Otto menyatakan bahwa kepastian hukum haruslah menyediakan aturan hukum yang jelas serta jernih, konsisten serta mudah diperoleh atau diakses.[9] Namun, dalam praktiknya menunjukkan bahwa penyalahgunaan keputusan sirkuler masih kerap terjadi, khususnya mengenai pemberhentian anggota direksi melalui keputusan sirkuler. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai Perlindungan Hukum Bagi Direksi Yang Diberhentikan Melalui Keputusan Sirkuler Yang Tidak Sah. Adapun penelitian terdahulu mengenai perlindungan hukum bagi direksi yang diberhentikan melalui keputusan sirkuler yang tidak sah masih terbatas pada aspek normatif dan belum banyak yang mengkaji tentang langkah strategis yang dapat dilakukan dalam melaksanakan perlindungan hukum yang optimal terhadap penyalahgunaan mekanisme keputusan sirkuler serta belum ada penelitian studi perbandingan pengaturan keputusan sirkuler dengan negara lain. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1) Prosedur dan regulasi  pengambilan keputusan oleh pemegang salam dalam pemberhentian direksi PT. 2) Perlindungan hukum bagi direksi yang diberhentikan terhadap keputusan sirkuler yang tidak sah.

II. METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan di dalam penulisan ini adalah penilitian hukum normatif dengan  menggunakan  pendekatan penelitian perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan komparatif. Sifat penelitian adalah preskriptif dengan menggunakan  bahan  hukum  primer  dan  sekunder. Bahan  hukum  primer  terdiri dari  peraturan  perundang-undangan  yang  memiliki  korelasi  dengan  isu  penelitian hukum yang dibahas. Sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku, jurnal hukum,  media  dan  artikel  lainnya  yang  sesuai  dengan  konteks  hukum  perusahaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) pada bahan-bahan hukum yang menjadi rujukan, kemudian dianalisis.

III. PROSEDUR DAN REGULASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLEH PEMEGANG SAHAM DALAM PEMBERHENTIAN DIREKSI PT

Menurut Sri Redjeki Hartono, PT adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha tertentu dengan menggunakan modal dasar yang dibagi kedalam sejumlah saham atau sero tertentu, yang masing-masing berisikan jumlah uang tertentu.[10] Dengan demikian, saham merupakan salah satu instrumen yang penting dalam PT. Menurut UU PT, saham adalah bukti penyertaan modal atau kepemilikan seseorang atau pihak tertentu dalam suatu perusahaan, yang memberikan sejumlah hak kepada pemegang saham tersebut.[11] Pemegang saham dapat berupa seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada suatu perusahaan. Pemegang saham memiliki konsep bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang saham dan pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka.[12] Secara umum menurut UU PT, pemegang saham memiliki hak-hak, sebagai berikut:

a.    Hak untuk diundang dan hadir dalam RUPS (Pasal 52 ayat (1) huruf a);

b.    Hak untuk memberikan suara dalam RUPS (Pasal 52 ayat (1) hurus a);

c.    Hak untuk menerima dividen atas saham yang dimilikinya (Pasal 52 ayat (1) huruf b);

d.    Hak untuk mendapatkan sisa kekayaan hasil likuidasi perseroan (Pasal 52 ayat (1) huruf b);

e.    Hak lainnya (Pasal 52 ayat (1) huruf c).

Berdasarkan dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pemegang saham memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menentukan dan mendapatkan informasi terhadap keputusan-keputusan yang berkaitan dengan perseroan. Jika melihat secara sekilas, tampak bahwasanya pemegang saham memiliki kekuasaan yang luas dalam suatu perusahaan. Namun, pada hakikatnya pemegang saham mempunyai bentuk pertanggung jawaban secara terbatas (limited liability).[13] Artinya, pemegang saham dapat diminta pertanggungjawaban apabila terbukti melanggar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. Pemegang saham dapat mengambil keputusan, yaitu menetapkan keputusan mengenai pengangkatan anggota direksi dan dewan komisaris perseroan, penetapan gaji dewan komisaris dan anggota direksi, pemilihan atau pemberhentian anggota direksi dan dewan komisaris, persetujuan laporan tahunan atau rencana strategis perusahaan, serta perubahan anggaran dasar perusahaan.[14] Menurut ketentuan UU PT terdapat dua macam mekanisme pemberhentian anggota direksi yang dapat dilakukan, yaitu:

A.   Pemberhentian Anggota Direksi oleh Pemegang Saham melalui RUPS

Menurut pasal 1 angka 3 UU PT, RUPS (Algemene Vergardering Van Aandeelhourders) adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa RUPS merupakan organ yang mempunyai wewenang yang eksklusif. Namun, RUPS bukan merupakan organ yang tertinggi, dikarenakan kekuasaan RUPS tidak sepenuhnya mutlak.[15] Artinya apabila ditafsirkan secara mendalam, kekuasaan yang diberikan oleh UU PT kepada RUPS bukan berarti bahwa RUPS dapat melakukan lingkup tugas dan wewenang direksi dan dewan komisaris, melainkan hanya mengenai wewenang RUPS yang tidak diserahkan kepada direksi dan dewan komisaris. Hal tersebut sejalan dengan pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas” yang menyatakan bahwa pada hakikatnya ketiga organ PT memiliki kedudukan yang sejajar dan harus menjalani tugas dan kewajibannya secara berdampingan sesuai dengan teori pemisahan kewenangan (separation of power).

Berdasarkan dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa RUPS merupakan tempat berkumpulnya para pemegang saham untuk dapat mengambil suatu keputusan yang berkaitan tentang perseroan. Menurut UU PT Pasal 79 ayat (2), RUPS dapat diselenggarakan atas dasar permintaan atau permohonan dari satu atau lebih pemegang saham yang mewakili sepersepuluh atau lebih dari jumlah seluruh saham. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas, yang memiliki saham yang lebih sedikit dibandingkan dengan pemegang saham mayoritas.[16] Selain memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas, ketentuan tersebut juga memberikan landasan kepada para pemegang saham untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, salah satunya adalah hak untuk hadir dan memberikan suara dalam RUPS, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat 1 huruf a UU PT.

Penyelanggara yang berhak untuk melaksanakan RUPS, sebagaimana diatur dalam UU PT Pasal 79 ayat (1) adalah direksi dan direksi wajib meberitahukan kepada seluruh pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 14 hari sebelum pemanggilan. Namun, apabila direksi berhalangan untuk menyelenggarakan RUPS, maka sesuai dengan Pasal 79 ayat (6), maka dewan komisaris berhak untuk menyelenggarakan RUPS dan melakukan pemanggilan RUPS dan apabila dewan komisaris juga tidak dapat menyelenggarakan RUPS, maka pemegang saham berhak untuk menyelenggarakan RUPS dengan meminta penetapan dari pengadilan negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) UU PT, yaitu pemegang saham dapat meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

Adapun syarat pengambilan keputusan melalui RUPS menegaskan bahwa terpenuhinya kuorum suara mayoritas dari para pemegang saham, yang besarannya disesuaikan dengan jenis atau materi mata acara yang dibahas dalam rapat tersebut. Dalam menentukan suatu keputusan, RUPS mewajibkan seluruh pemegang saham dengan hak suara yang sah untuk hadir menggunakan suaranya. Oleh karena itu kuorum suara dalam RUPS menjadi hal yang mutlak diperhatikan. Pasal 84 dan Pasal 85 UU PT menentukan bahwa yang berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya adalah pemegang saham dengan hak suara yang sah, baik pemiliknya sendiri maupun dengan kuasa tertulis yang sah. Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham.[17] Mengenai besaran kuorum RUPS diatur dalam Pasal 86, 88, dan 89 UU PT tergantung dengan mata acara yang dibahas.

Perihal pemberhentian anggota direksi umumnya dilakukan melalui persetujuan RUPS oleh para pemegang saham, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 (1) UU PT, yaitu  pemegang saham harus mengadakan RUPS Luar Biasa dengan mata acara yang khusus membicarakan tentang pemberhentian anggota direksi dan keputusan pemberhentiannya juga harus disertai dengan alasan yang jelas. Anggota direksi yang ingin diberhentikan tersebut harus diberikan kesempatan untuk membela diri dalam RUPS, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 ayat (2) UU PT. Adapun kuorum yang dibutuhkan untuk menggantikan dan memberhentikan anggota direksi adalah ½ atau sekitar 50% dari total seluruh pemegang saham, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU PT. Kemudian, apabila RUPS pertama tersebut gagal untuk mendapatkan kuorum, maka menurut Pasal 86 (4) UU PT, para pemegang saham dapat melaksanakan RUPS kedua dengan kuorum 1/3 dari total seluruh jumlah pemegang saham dalam PT tersebut dan apabila RUPS kedua tersebut gagal untuk mencapai kuorum, maka pemegang saham dapat melaksanakan RUPS ketiga dengan meminta izin melalui pengadilan negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (6) UU PT.

Dengan demikian, untuk mengambil suatu keputusan dalam penggantian dan pemberhentian anggota direksi melalui RUPS, maka kuorum pemegang saham dari total seluruh pemegang saham yaitu sejumlah ½ atau 50% pemegang saham harus menyetujui keputusan melalui forum RUPS tersebut. Kemudian setelah para pemegang saham berhasil untuk mengambil suatu keputusan, yaitu menggantikan dan memberhentikan anggota direksi, maka langkah selanjutnya adalah anggota direksi yang lain wajib mencatat keputusan tersebut ke dalam berita acara RUPS dan kemudian berita acara tersebut harus dituangkan dalam akta notaris, dan direksi wajib memberitahukan perubahan data tersebut kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Sistem Administrasi Badan Hukum Umum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 94 ayat (7) UU PT.

B.   Pemberhentian Anggota Direksi oleh Pemegang Saham melalui Keputusan Sirkuler

Secara filosofi, keputusan sirkuler merupakan mekanisme alternatif pengganti yang diatur dalam UU PT kepada para pemegang saham untuk mengambil suatu keputusan, apabila mereka tidak dapat melaksanakan RUPS baik secara langsung atau tidak langsung.[18] Mekanisme tersebut awalnya merupakan pertimbangan dari pendapat akhir Presiden atas Rancangan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dalam Rapat Paripurna Terbuka Dewan Perwakilan  Rakyat Republik Indonesia dengan maksud bahwa “sebagai upaya dalam mengantisipasi perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi     yang     bersifat     futuristik     (terkait     dengan keterbatasan jarak, tempat dan waktu penyelenggaraan RUPS, maka  ditentukan  mekanisme alternatif  dalam  penyelenggaraan  RUPS  tanpa  kehadiran pemegang    saham    secara    fisik    yakni    melalui  RUPS media elektronik atau melalui keputusan sirkuler.[19] Adapun keputusan sirkuler diatur hanya dalam 1 (satu) pasal saja dalam UU PT, yaitu Pasal 91 UU PT, yang menyatakan:

“Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat  di  luar  RUPS  dengan  syarat  semua  pemegang saham  dengan  hak  suara  menyetujui  secara  tertulis  dengan menandatangani  usul  yang  bersangkutan.”

          Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 91 UU PT menjelaskan bahwa keputusan di luar RUPS dalam praktiknya disebut dengan suatu usul keputusan yang diedarkan, yaitu keputusan sirkuler (circular resolution).  Adapun pengambilan keputusan sirkuler dilakukan dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada seluruh pemegang saham dan usul tersebut harus disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham, dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat selayaknya RUPS. Sedangkan menurut Black Law Dictionary, keputusan sirkuler adalah resolusi anggota yang memuat tanda tangan semua anggota sehingga efektif. Dengan demikian, persyaratan mutlak dari keputusan sirkuler adalah persetujuan seluruh pemegang saham, yaitu kuorum 100% dari total seluruh pemegang saham. Apabila salah satu pemegang saham tidak menyetujui keputusan tersebut, maka akibat hukum dari keputusan sirkuler adalah keputusan sirkuler tersebut harus dinyatakan batal demi hukum dan cacat secara yuridis (null and void).[20]

          Berdasarkan dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa keputusan sirkuler awalnya merupakan mekanisme alternatif pengganti RUPS kepada para pemegang saham. Namun, seiring perkembangan zaman keputusan sirkuler telah menjadi suatu hal yang lazim dan populer digunakan oleh para pemegang saham. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, seperti pelaksanaan keputusan sirkuler yang cenderung lebih mudah dibandingkan dengan RUPS yang membutuhkan pertemuan baik secara langsung dan tidak langsung, serta lebih efisien digunakan dikarenakan prosesnya yang cepat dan mudah. Akan tetapi, hal tersebut justru menimbulkan beberapa polemik dalam pengambilan keputusan PT, yaitu terdapat potensi penyalahgunaan keputusan sirkuler oleh para pemegang saham, salah satunya adalah pemberhentian anggota direksi secara sepihak melalui keputusan sirkuler, sebagaimana yang terlihat dalam contoh kasus Putusan Perdata Nomor 508/Pdt.G/2021/Pn.Jkt.Pst. Kasus ini dilatarbelakangi oleh penerbitan keputusan sirkuler secara sepihak oleh para pemegang saham dan dewan komisaris PT. FMJ mengenai pemberhentian anggota direksi dan perubahan susunan saham yang dibuat berdasarkan Akta Tanggal 27 April 2020 tentang Pernyataan Keputusan Sirkuler Pengganti RUPS.

          Pasalnya menurut Pasal 105 ayat (3) UU PT, pemberhentian anggota direksi melalui keputusan sirkuler dapat dilakukan oleh para pemegang saham, dengan ketentuan bahwa anggota direksi yang bersangkutan harus diberitahukan terlebih dahulu secara tertulis dan anggota direksi tersebut wajib diberikan kesempatan untuk menyampaikan pembelaan dirinya secara tertulis, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 105 ayat (3) UU PT. Ketentuan ini serupa dengan ketentuan mekanisme pemberhentian melalui RUPS, yaitu sama-sama wajib diberikan kesempatan untuk membela diri. Apabila ketentuan tersebut tidak diikuti, maka pemberhentian tersebut akan dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

          Berdasarkan dari kedua cara pemberhentian anggota direksi diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemberhentian anggota direksi baik melalui RUPS dan keputusan sirkuler haruslah diberikan kesempatan untuk “membela diri”, serta pemberhentian tersebut harus disertai dengan “alasan” yang jelas. Hal tersebut merupakan ketentuan tersebut bersifat “imperatif” dan harus dipatuhi oleh setiap PT di Indonesia.[21] Namun, meskipun UU PT sudah secara tegas dan lugas menyatakan bahwa ketentuan tersebut wajib untuk ditaati, namun nyatanya hingga saat ini masih terdapat banyak penyalahgunaan keputusan sirkuler oleh organ di PT, seperti tidak adanya kesempatan untuk membela diri kepada organ PT yang diberhentikan atau tidak adanya pemberitahuan terkait perubahan susunan anggota direksi kepada pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, diperlukan rumusan mengenai perlindungan hukum bagi direksi yang diberhentikan melalui keputusan sirkuler dan hasil analisis perbandingan pengaturan keputusan sirkuler dengan negara lain.

IV. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DIREKSI YANG DIBERHENTIKAN MELALUI KEPUTUSAN SIRKULER

Menurut Soetino, perlindungan hukum tindakan atau usaha dalam melindungi masyarakat dari perbuatan yang semena-mena penguasa atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga manusia dapat menikmati martabatnya sebagai manusia yang utuh demi menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.[22] Selanjutnya, menurut Muschin dalam teori perlindungan hukum, terdapat dua bentuk perlindungan hukum, yaitu bentuk perlindungan hukum yang bersifat preventif dan bentuk perlindungan hukum yang bersifat represif.[23] Phillipus M. Hadjon, dalam bukunya “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”, menerangkan bahwa perlindungan secara preventif merupakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban. Adapun perlindungan hukum secara preventif bagi anggota direksi dapat dilaksanakan melalui prinsip bussiness  judgement rule (selanjutnya disebut sebagai BJR dalam penulisan ini). Prinsip ini bertujuan untuk melindungi Direksi dari setiap keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan Perseroan.[24]

Prinsip BJR sejatinya termaktub dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT, yang mengatur mengenai penghapusan pertanggungjawaban direksi, yaitu apabila direksi dapat membuktikkan bahwa (1) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; (2) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; (3) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan (4) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Apabila direksi dapat membuktikkan dirinya, maka direksi tidak dapat diminta pertanggungjawaban.[25]

Selain itu perlindungan secara preventif bagi direksi juga dapat dilaksanakan melalui keberadaan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh dewan komisaris. Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), dewan komisaris merupakan salah satu organ perseroan yang memiliki tugas dan tanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada direksi. Selain itu, dewan komisaris juga berperan dalam memastikan implementasi prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara efektif dan efisien di lingkungan perusahaan.[26] Dengan kata lain, fungsi dewan komisaris bertujuan untuk memastikan apakah kinerja anggota direksi telah dilakukan dengan itikad baik, serta untuk memastikan kepengurusan perusahaan dilakukan sesuai dengan maksud, tujuan, dan anggaran dasar perusahaan. Sedangkan perlindungan hukum secara represif, dapat dilaksanakan melalui pemberian sanksi/hukuman melalui jalur litigasi.

Adapun perlindungan hukum terhadap pemberhentian direksi secara sepihak melalui keputusan sirkuler, sejatinya telah diatur melalui mekanisme pembelaan diri di dalam UU PT Pasal 105 ayat (3), yaitu anggota direksi diberikan kesempatan untuk membela diri secara tertulis. Namun mekanisme ini memiliki beberapa celah hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu terdapat resiko penyalahgunaan keputusan sirkuler seperti tidak memberitahukan keputusan sirkuler kepada pihak yang bersangkutan, dan terdapat resiko pemalsuan tanda tangan. Hal tersebut dikarenakan UU PT saat ini tidak memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme serta prosedur dan jangka waktu atau bahkan pembatasan penggunaan keputusan sirkuler. Oleh karena itu penulis membawa perbandingan regulasi keputusan sirkuler dengan negara lain, yaitu negara Singapura, Australia, dan Britania Raya, sebagaimana akan dijabarkan dibawah.

 

 

A.   Perbandingan Pengaturan Keputusan Sirkuler dengan Negara Lain

Di negara Singapura, pengambilan keputusan sirkuler dikenal dengan istilah “written resolution” yang diatur dalam Companies Act 1967 Chapter 50 art. 184DA. Dalam pengaturan tersebut dinyatakan bahwa keputusan sirkuler harus disetujui dalam waktu 28 (dua puluh) hari sejak keputusan tersebut dibuat. Apabila melebihi jangka waktu 28 (dua puluh) delapan hari, maka keputusan tersebut batal. Selain itu, regulasi di Singapura membuka kesempatan diadakannya rapat secara fisik apabila 5% (lima persen) dari pemegang saham tidak menyetujui keputusan tertulis tersebut selama 7 (tujuh) hari keputusan tersebut diedarkan seperti bunyi Companies Act Chapter 50 art. 184D part (1):

(1) Any member or members of a private company or an unlisted public company representing at least 5% of the total voting rights of all the members having the right to vote on a resolution at a general meeting of the company may, within 7 days after

(a) the text of the resolution has been sent to him or them in accordance with section 184C; or

(b) the documents referred to in section 183(3A) in respect of the resolution have been served on him or them, as the case may be, give notice to the company requiring that a general meeting be convened for that resolution.

Sementara, di negara Britania Raya, keputusan sirkuler dikenal dengan istilah yang sama dengan negara Singapura, yaitu ”written resolution” yang diatur dalam Companies Act 2006 Chapter.2 art. 288 – 300. Dalam pengaturan tersebut, diterangkan bahwa bahwa organ yang berhak untuk menyelenggarakan keputusan sirkuler adalah direksi, kemudian perusahaan yang dapat menggunakan keputusan sirkuler adalah perusahaan privat, prosedur dan jangka waktu persetujuan keputusan sirkuler tersebut. Selain itu, pengaturan tersebut juga menegaskan bahwa keputusan sirkuler tidak dapat dilakukan untuk memberhentikan anggota direktur atau auditor sebelum berakhirnya masa jabatan mereka, sebagaimana tercantum dalam bunyi Companies Act 2006 Chapter. 2 art. 288:

(1) This section introduces the written resolution provisions of this Chapter. They apply to private companies only. Subsection (2)(a) and (b) reproduce the two exceptions currently provided for in Part 1 of Schedule 15A to the 1985 Act: a resolution to remove a director or an auditor before the expiration of his term of office may not be passed as a written resolution. These are the only two exceptions to a private company’s right to pass resolutions using the written resolution procedure

Di negara Australia, istilah keputusan sirkuler dikenal dengan “resolutions in writing” yang diatur dalam Corporation Act 2001-Sect 248A. Mekanisme keputusan sirkuler di Negara Australia tidak jauh berbeda dengan negara Singapura dan negara Amerika Serikat. Namun, terdapat pembeda antara pengaturan keputusan sirkuler antara negara Australia dan negara Singapura dan negara Amerika serikat, yaitu negara Australia memberikan pembatasan lebih rinci mengenai penggunaan keputusan sirkuler, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:[27]

(1) Pemberhentian direktur: Corporations Act 2001 menyatakan bahwa seorang direktur hanya dapat diberhentikan melalui resolusi biasa yang disahkan pada rapat umum perusahaan, sehingga hal ini tidak dapat dilakukan melalui resolusi sirkuler.

(2) Mengubah konstitusi: Corporations Act 2001 menyatakan bahwa perubahan konstitusi perusahaan hanya dapat dilakukan dengan resolusi khusus yang disahkan pada rapat umum perusahaan.

(3) Persetujuan laporan keuangan: Corporations Act 2001  mewajibkan laporan keuangan disetujui dalam rapat umum perusahaan. Resolusi sirkuler tidak dapat digunakan untuk menyetujui laporan keuangan.

(4) Penunjukan atau pemberhentian auditor: Berdasarkan Corporations Act 2001, penunjukan atau pemberhentian auditor hanya dapat dilakukan dengan resolusi biasa yang disahkan pada rapat umum perusahaan

(5) Persetujuan atas transaksi substansial: Dalam hal transaksi substansial, seperti penjualan aset yang signifikan, Corporations Act 2001 dapat mensyaratkan bahwa transaksi tersebut disetujui oleh resolusi khusus yang disahkan pada rapat umum perusahaan

Berdasarkan hasil perbandingan terhadap pengaturan mengenai keputusan sirkuler di tiga negara, yakni Singapura, Australia, dan Britania Raya, dapat disimpulkan bahwa masing-masing negara memiliki ketentuan yang berbeda-beda terkait implementasi keputusan sirkuler dalam praktik korporasi. Di pengaturan negara Singapura memberikan ruang bagi pemegang saham untuk menolak keputusan tertulis apabila terdapat pihak yang keberatan dari setidaknya 5% pemegang saham, sehingga perusahaan wajib menyelenggarakan rapat secara fisik. Sementara itu, negara Australia dan Britania Raya secara tegas membedakan kewenangan antara RUPS dan keputusan sirkuler. Salah satu batasan yang ditetapkan adalah pelarangan penggunaan mekanisme keputusan sirkuler untuk memberhentikan anggota direksi.

Berdasarkan hasil analisis perbandingan terhadap pengaturan mengenai keputusan sirkuler di Indonesia dengan negara Singapura, Britania Raya, dan Australia, ditemukan bahwa Indonesia memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal regulasi tersebut. Regulasi keputusan sirkuler di Indonesia belum mengatur secara rinci mengenai mekanisme, prosedur, maupun jangka waktu penggunaan keputusan sirkuler. Selain itu, tidak terdapat pembatasan yang jelas mengenai ruang lingkup penggunaan keputusan sirkuler dalam praktik tata kelola perusahaan. Berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Singapura, Britania Raya, dan Australia, di mana regulasi keputusan sirkuler secara eksplisit mengatur mengenai prosedur serta batas waktu penggunaan keputusan sirkuler. Negara-negara tersebut juga menerapkan pembatasan terhadap penggunaan keputusan sirkuler, misalnya tidak melarang penggunaan keputusan sirkuler untuk memberhentikan anggota direksi atau mengubah anggaran dasar. Sebaliknya, di Indonesia, penggunaan keputusan sirkuler masih dimungkinkan untuk memberhentikan anggota direksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 ayat (3) UU PT. Ketentuan ini kerap menimbulkan persoalan hukum, khususnya bagi anggota direksi yang diberhentikan tanpa melalui prosedur pemberitahuan atau tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri.

Praktik penyalahgunaan keputusan sirkuler tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena tidak memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Tidak adanya regulasi yang mengatur secara tegas mengenai tata cara pemberhentian melalui keputusan sirkuler berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem tata kelola perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan hukum yang lebih komprehensif dan tegas terkait mekanisme, prosedur, dan batasan penggunaan keputusan sirkuler, khususnya dalam konteks pemberhentian organ pengurus perusahaan.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki pengaturan yang signifikan mengenai pengambilan keputusan melalui keputusan sirkuler. Peraturan mengenai keputusan sirkuler hanya diatur melalui Pasal 91 UU PT dan belum ada peraturan turunan atau pelaksanaan lainnya dari keputusan sirkuler. Berbeda dengan negara Singapura, Britania Raya, dan Australia yang mengatur secara rinci mekanisme penggunaan keputusan sirkuler serta pembatasan penggunaan keputusan sirkuler, salah satunya adalah larangan penggunaan keputusan sirkuler untuk memberhentikan anggota direksi. Berbeda dengan negara Indonesia yang mengizinkan pemberhentian anggota direksi melalui keputusan sirkuler, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 ayat (3) UU PT.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketentuan mengenai keputusan sirkuler dalam UU PT masih terbatas pada persyaratan formal, tanpa pengaturan yang lebih rinci mengenai mekanisme pelaksanaannya. Ketiadaan pengaturan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik korporasi, khususnya dalam hal pemberhentian anggota direksi melalui keputusan sirkuler. Prosedur ini berisiko mengabaikan hak anggota direksi untuk membela diri secara layak, karena pembelaannya hanya disampaikan secara tertulis tanpa forum terbuka sebagaimana dalam RUPS. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di antara organ perseroan dan mengurangi transparansi dalam pengambilan keputusan, sehingga perlu adanya reformulasi kebijakan atau pengaturan yang lebih komprehensif mengenai penggunaan keputusan sirkuler dalam konteks pemberhentian direksi.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan agar pemerintah, khususnya Presiden dan DPR, melakukan revisi terhadap Pasal 91 UU PT guna memperjelas batas kewenangan antara RUPS dan keputusan sirkuler. Revisi ini sebaiknya mencakup: (1) kewajiban konsultasi atau rapat sebelum pengambilan keputusan sirkuler; (2) pengaturan prosedur dan jangka waktu penggunaan keputusan sirkuler, misalkan: ditetapkan selama 28 hari; (3) pembatasan penggunaan keputusan sirkuler hanya untuk hal-hal administratif, serta (4) larangan penggunaannya dalam pemberhentian direksi, kecuali jika direksi yang bersangkutan tidak menyatakan keberatan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang serta memastikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan di dalam PT, serta menciptakan perlindungan hukum yang optimal bagi anggota direksi PT.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Mulhadi. Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia. Depok: Raja Grafindo Persada. 2020.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Suatu Hukum Pengantar. Yogyakarta: Liberty. 1999.

Muchsin. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2003.

Soersoso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

Sutedi, Adrian. Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Raih Asa Sukses. 2015.

Usman, Rachmandi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: PT Alumni. 2004.

B. Jurnal

Adipratama, Wiradhanta Bagus Ngurah Agung Anak. “Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas”. Jurnal Hukum Sasana 8. No. 2 (2022): 306.

Dewi, Sandra. “Karakteristik Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”. Jurnal Ensiklopedia 1. No. 3 (2019): 114.

Faisal, Ulfa Fadlyna, dkk. “Pelaksanaan Circular Resolution Pada Perseroan Terbatas". Universitas Hasanuddin (2021): 4.

Hadi, Desiputri Shigeko. “Prinsip Business Judgement Rule dalam Pertanggungjawaban Hukum Direksi BUMN Yang Melakukan Tindakan Investasi yang Mengakibatkan Kerugian”. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 4. No. 2 (2021): 172.

Irsan, Muhammad Andi, dkk. “Analisis Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pada Klausula Circular Resolution Rapat Umum Pemegang Saham”. Indonesian Journal of Legality of Law 1. No. 2 (2019): 66.

Meliawati, dkk. “Kepastian Hukum dalam Penerapan Platform E-Voting Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas yang Dilaksanakan Melalui Telekonferensi”. Jurnal Riset Ilmiah 3. No. 1 (2023): 39.

Muttaqin, Zaenal. “Kedudukan Akta Notaris Yang Dibuat Berdasarkan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Secara Sirkuler Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”. Jurnal Mustika Justice 3. No. 2 (2024): 4.

Putri, Rahman Inzafani, dkk. “Kepastian Hukum Keputusan Pemegang Saham Dengan Metode Circular Resolution Dalam Penggantian Direksi Perseroan Terbatas”. Jurnal Multidisiplin Indonesia 2. No. 9 (2023): 2987.

Nalendra Pradipto, dkk. “Pemberhentian Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Dalam Kepailitan Melalui Circular Resolution”. Jurnal Suara Hukum 4. No. 1 (2022): 94.

Shobirin, Zhafran Muhammad, dkk. “Pertanggungjawaban Pemegang Saham terhadap Kerugian yang Terjadi pada Perseroan Terbatas”. Jurnal Ilmu Hukum 1. No. 2 (2024): 80.

Utami, Fajar Oktavia dan Krido Eko Cahyono. “Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris, Dewan Komisaris Independen, Komite Audit, dan Struktur Kepemilikan Institusi Terhadap Pengungkapan Manajemen Resiko pada Perusahaan Telekomunikasi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen 12. No. 6 (2023): 5.

Wildayanti dan Kasjim Salenda. “Penerapan Prinsip Bussiness Judgement Rule (BJR) Terhadap Direksi Perusahaan Terbatas”. Alauddin Law Development Journal 4. No. 3 (2022): 507.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. UU No. 40 Tahun 2007. LN No. 106 Tahun 2007. TLN No. 4756.

Singapura. Companies Act 1967.

Australia. Corporations Act 2001.

Britania Raya. Companies Act 2006

 

D. Putusan

Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 508/PDT.G/2021/PN.Jkt.Pst.

E.  Internet

Cimbniaga. “RUPS dan Perannya dalam Pengambilan Keputusan Perusahaan Terbatas”. https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/bisnis/rups. diakses pada 14 Juli 2025.

Governance Glossary. “Circular Resolution”. https://betterboards.net/glossary/circularresolution/. diakses pada 23 Mei 2025.

 

 

 

 

 



[1] Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2020), 97.

[2] Sandra Dewi, “Karakteristik Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”, Jurnal Ensiklopedia 1, No. 3 (2019): 114.

[3] Mulhadi, Op.cit., 99.

[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), 137.

[5] Meliawati, dkk, “Kepastian Hukum dalam Penerapan Platform E-Voting Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas yang Dilaksanakan Melalui Telekonferensi”, Jurnal Riset Ilmiah 3, No. 1 (2023): 39.

[6] Fadlyna Ulfa Faisal, dkk, “Pelaksanaan Circular Resolution Pada Perseroan Terbatas", Universitas Hasanuddin (2021): 4.

[7] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 91.

[8] Putusan Perdata Pengadilan Negeri Nomor 508/PDT.G/2021/PN JKT.PST.

[9] Jan M. Otto, dikutip dari Soersoso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 20.

[10] Sri Redjeki Hartono, Bentuk Bentuk Kerjasama dalam Dunia Niaga, Universitas Semarang (1985): 47.

[11] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 48.

[12] Adrian Sutedi, Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), 150.

[13] Muhammad Zhafran Shobirin, dkk, “Pertanggungjawaban Pemegang Saham terhadap Kerugian yang Terjadi pada Perseroan Terbatas”, Jurnal Ilmu Hukum 1, No. 2 (2024): 80.

[14] Cimbniaga, “RUPS dan Perannya dalam Pengambilan Keputusan Perusahaan Terbatas”, https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/bisnis/rups, diakses pada 14 Juli 2025.

[15] Anak Agung Ngurah Bagus Wiradhanta Adipratama, “Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas”, Jurnal Hukum Sasana 8, No. 2 (2022): 306.

[16] Muhammad Zhafran Shobirin, dan Erio Agustia Rachman, “Pertanggungjawaban Pemegang Saham terhadap Kerugian yang Terjadi pada Perseroan Terbatas”, Jurnal Ilmu Hukum 1, No. 2 (2024): 78.

[17] Rachmandi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: PT Alumni, 2004), 143.

 

[18] Inzafani Rahman Putri, dkk, “Kepastian Hukum Keputusan Pemegang Saham Dengan Metode Circular Resolution Dalam Penggantian Direksi Perseroan Terbatas”, Jurnal Multidisiplin Indonesia 2, No. 9 (2023): 2987.

[19] Andi Muhammad Irsan, dkk, “Analisis Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pada Klausula Circular Resolution Rapat Umum Pemegang Saham”, Indonesian Journal of Legality of Law 1, No. 2 (2019): 66.

[20] Zaenal Muttaqin, “Kedudukan Akta Notaris Yang Dibuat Berdasarkan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Secara Sirkuler Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”, Jurnal Mustika Justice 3, No. 2 (2024): 4.

[21] Nalendra Pradipto, dkk, “Pemberhentian Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Dalam Kepailitan Melalui Circular Resolution”, Jurnal Suara Hukum 4, No. 1 (2022): 94.

[22] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Suatu Hukum Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 5.

[23] Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), 20.

[24] Shigeko Desiputri Hadi, “Prinsip Business Judgement Rule dalam Pertanggungjawaban Hukum Direksi BUMN Yang Melakukan Tindakan Investasi yang Mengakibatkan Kerugian”, ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 4, No. 2 (2021): 172.

[25] Wildayanti dan Kasjim Salenda, “Penerapan Prinsip Bussiness Judgement Rule (BJR) Terhadap Direksi Perusahaan Terbatas”, Alauddin Law Development Journal 4, No. 3 (2022): 507.

[26] Oktavia Fajar Utami dan Krido Eko Cahyono, “Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris, Dewan Komisaris Independen, Komite Audit, dan Struktur Kepemilikan Institusi Terhadap Pengungkapan Manajemen Resiko pada Perusahaan Telekomunikasi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”, Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen 12, No. 6 (2023): 5.

[27] Governance Glossary, “Circular Resolution”, https://betterboards.net/glossary/circularresolution/, diakses pada 23 Mei 2025

 


Comments