PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI DIREKSI YANG DIBERHENTIKAN MELALUI KEPUTUSAN SIRKULER YANG TIDAK SAH
(Studi Perbandingan
Indonesia, Singapura, Britania Raya, dan Australia)
Viony Ferencia1, T. Keizerina D.A2, Windha3
1,2,3 University of North Sumatera, Indonesia
*Correspondence
Email : (vionyferencia19@gmail.com)
Article |
Abstract |
DOI : 10.71087/ajlr.vxix.xx
How to Cite : Penulis, "Judul Artikel", Acten Journal Law
Review xx, No. xx, (20xx): xx-xx |
Circular
resolution is one of the decision-making mechanisms by shareholders other
than the GMS has become one of the mechanisms often used by shareholders to
make decisions in limited companies. However, the use of circular resolutions
is inseparable from potential juridical problems, among others related to
abuse of authority, especially in the context of dismissal of members of the
board of directors. This article aims to examine the utilization of circular
resolutions in the limited liability company system in Indonesia, both in
terms of normative application and risk implications. In addition, this
research also compares the legal systems in Singapore, the United Kingdom,
and Australia in order to obtain a more comprehensive perspective on the
regulation of the circular resolution mechanism. The method used is normative
law. The nature of the research is prescriptive using secondary data obtained
through data collection and data analysis techniques. The research approach
uses a statutory approach, case approach, and comparative approach. The results show that legal protection for directors who
are dismissed through circular decisions is not yet optimal. This is due to
the regulation regarding circular decisions in Indonesia which is currently
limited to only 1 (one) article, and there is no further regulation regarding
procedures, time periods, and no restrictions on the use of circular
decisions, so that it has the potential to cause legal uncertainty and less
than optimal legal protection for PT directors in Indonesia. Therefore, to
ensure legal certainty and optimal legal protection for directors, it is
necessary to have bright and clear arrangements related to circular decisions
that present progressive positive law in mitigating the risk of misuse of
circular decisions in Indonesia. Keywords : Circular
resolutions; Legal Protection; Dismissal; Directors |
|
Submitted: xx-xx-20xx | Reviewed: xx-xx-20xx | Accepted: xx-xx-20xx
Published at https://journal.matracendikia.id/ajlr, on xx xxxxx 20xx
(Informasi Publikasi Diisi Oleh Editor)
I.
PENDAHULUAN
Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut sebagai PT dalam penulisan ini) merupakan bentuk badan
hukum yang paling sempurna dan populer di antara badan hukum yang lainnya.[1]
Sebagai badan hukum yang mandiri, PT memiliki keberadaan yang terpisah dari
para pemegang saham serta harta kekayaan yang terpisah.[2]
Keberpisahan tersebut menyebabkan PT memerlukan suatu organ untuk melakukan segala perbuatan hukum
dan hubungan hukum, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 (selanjutnya disebut sebagai UU PT) Pasal 1 angka 2, yang mewajibkan
PT untuk memiliki 3 (tiga) organ, yaitu: Direksi, Dewan Komisaris, dan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).[3]
Direksi
merupakan organ yang bertanggung jawab atas segala pengurusan perseroan dan
berhak untuk mewakili perseroan baik di dalam ataupun di luar pengadilan,
sedangkan dewan komisaris bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan atas
kebijakan perseroan dan memberi nasihat kepada direksi.[4]
Sedangkan RUPS merupakan organ yang memiliki kewenangan eksklusif, karena
berfungsi sebagai forum bagi para pemegang saham untuk menyampaikan hak
suaranya dalam rangka pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan
perseroan. Secara umum, pelaksanaan RUPS membutuhkan kehadiran fisik para
pemegang saham guna membahas dan memutuskan hal-hal strategis bagi perseroan.
Akan tetapi, dalam praktiknya RUPS mengalami hambatan, khususnya terkait dengan
kesulitan menghimpun seluruh pemegang saham untuk hadir secara bersamaan.[5]
Menyikapi
hal tersebut, UU PT memberikan alternatif mekanisme pengambilan keputusan oleh
pemegang saham tanpa harus mengadakan pertemuan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah keputusan sirkuler (circular
resolution), yaitu suatu bentuk pengambilan keputusan oleh seluruh pemegang
saham di luar forum RUPS.[6]
Keputusan sirkuler dapat memiliki kekuatan hukum yang mengikat selayaknya RUPS,
apabila keputusan tersebut mendapatkan persetujuan dari seluruh pemegang saham.[7]
Dengan demikian, syarat keabsahan keputusan sirkuler adalah persetujuan bulat
para pemegang saham. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak semua pemegang saham
mematuhi ketentuan UU PT tersebut, khususnya terkait dengan mekanisme
pemberhentian direksi melalui keputusan sirkuler yang diatur dalam Pasal 105
ayat (3) UU PT, sebagaimana yang terlihat dalam contoh kasus Putusan Perdata
Nomor 508/PDT.G/2021/PN JKT.PST. Kasus tersebut dilatarbelakangi oleh
penerbitan keputusan sirkuler oleh para pemegang saham mengenai penggantian dan
pemberhentian direksi yang diadakan tanpa memberikan direksi yang bersangkutan
kesempatan untuk membela dirinya. Hal
tersebut dapat terjadi dikarenakan pengaturan mengenai keputusan sirkuler di
dalam UU PT masih menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu tidak ada pengaturan
mengenai prosedur dan jangka waktu penggunaan keputusan sirkuler, serta tidak
ada pembatasan penggunaan keputusan sirkuler.[8]
Akibatnya, para pemegang saham dapat memanfaatkan celah hukum tersebut untuk
mengambil keputusan yang bertentangan dengan kaidah kesusilaan dan kepatutan
dalam lingkungan perseroan.
Jan M. Otto menyatakan bahwa kepastian hukum
haruslah menyediakan aturan hukum yang jelas serta jernih, konsisten serta
mudah diperoleh atau diakses.[9]
Namun, dalam praktiknya menunjukkan bahwa penyalahgunaan keputusan sirkuler
masih kerap terjadi, khususnya mengenai pemberhentian anggota direksi melalui
keputusan sirkuler. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan tersebut, dalam
penelitian ini akan dibahas mengenai Perlindungan Hukum Bagi Direksi Yang
Diberhentikan Melalui Keputusan Sirkuler Yang Tidak Sah. Adapun penelitian
terdahulu mengenai perlindungan hukum bagi direksi yang diberhentikan melalui
keputusan sirkuler yang tidak sah masih terbatas pada aspek normatif dan belum
banyak yang mengkaji tentang langkah strategis yang dapat dilakukan dalam
melaksanakan perlindungan hukum yang optimal terhadap penyalahgunaan mekanisme
keputusan sirkuler serta belum ada penelitian studi perbandingan pengaturan
keputusan sirkuler dengan negara lain. Adapun rumusan masalah dalam penelitian
ini, yaitu: 1) Prosedur dan regulasi pengambilan keputusan oleh pemegang salam
dalam pemberhentian direksi PT. 2) Perlindungan hukum bagi direksi yang
diberhentikan terhadap keputusan sirkuler yang tidak sah.
II.
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan di dalam penulisan
ini adalah penilitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan penelitian
perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan komparatif. Sifat
penelitian adalah preskriptif dengan menggunakan bahan
hukum primer dan
sekunder. Bahan hukum primer
terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
memiliki korelasi dengan
isu penelitian hukum yang
dibahas. Sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku, jurnal hukum, media
dan artikel lainnya
yang sesuai dengan
konteks hukum perusahaan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi kepustakaan (library research) pada bahan-bahan
hukum yang menjadi rujukan, kemudian dianalisis.
III. PROSEDUR DAN REGULASI
PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLEH PEMEGANG SAHAM DALAM PEMBERHENTIAN DIREKSI PT
Menurut
Sri Redjeki Hartono, PT adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha
tertentu dengan menggunakan modal dasar yang dibagi kedalam sejumlah saham atau
sero tertentu, yang masing-masing berisikan jumlah uang tertentu.[10]
Dengan demikian, saham merupakan salah satu instrumen yang penting dalam PT.
Menurut UU PT, saham adalah bukti penyertaan modal atau kepemilikan seseorang
atau pihak tertentu dalam suatu perusahaan, yang memberikan sejumlah hak kepada
pemegang saham tersebut.[11]
Pemegang saham dapat berupa seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki
satu atau lebih saham pada suatu perusahaan. Pemegang saham memiliki konsep
bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang saham dan
pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka.[12]
Secara umum menurut UU PT, pemegang saham memiliki hak-hak, sebagai berikut:
a. Hak untuk diundang dan hadir dalam RUPS (Pasal
52 ayat (1) huruf a);
b. Hak untuk memberikan suara dalam RUPS (Pasal 52
ayat (1) hurus a);
c. Hak untuk menerima dividen atas saham yang
dimilikinya (Pasal 52 ayat (1) huruf b);
d. Hak untuk mendapatkan sisa kekayaan hasil
likuidasi perseroan (Pasal 52 ayat (1) huruf b);
e. Hak lainnya (Pasal 52 ayat (1) huruf c).
Berdasarkan
dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pemegang saham memiliki hak untuk
berpartisipasi dalam menentukan dan mendapatkan informasi terhadap
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan perseroan. Jika melihat secara sekilas,
tampak bahwasanya pemegang saham memiliki kekuasaan yang luas dalam suatu
perusahaan. Namun, pada hakikatnya pemegang saham mempunyai bentuk pertanggung
jawaban secara terbatas (limited liability).[13]
Artinya, pemegang saham dapat diminta pertanggungjawaban apabila terbukti
melanggar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. Pemegang saham
dapat mengambil keputusan, yaitu menetapkan
keputusan mengenai pengangkatan anggota direksi dan dewan komisaris perseroan,
penetapan gaji dewan komisaris dan anggota direksi, pemilihan atau
pemberhentian anggota direksi dan dewan komisaris, persetujuan laporan tahunan
atau rencana strategis perusahaan, serta perubahan anggaran dasar perusahaan.[14] Menurut ketentuan UU
PT terdapat dua macam mekanisme pemberhentian anggota direksi yang dapat
dilakukan, yaitu:
A. Pemberhentian
Anggota Direksi oleh Pemegang Saham melalui RUPS
Menurut pasal 1 angka 3 UU PT, RUPS (Algemene Vergardering Van
Aandeelhourders) adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang
yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa RUPS merupakan organ yang mempunyai wewenang yang
eksklusif. Namun, RUPS bukan merupakan organ yang tertinggi, dikarenakan kekuasaan
RUPS tidak sepenuhnya mutlak.[15] Artinya apabila
ditafsirkan secara mendalam, kekuasaan yang diberikan oleh UU PT kepada RUPS
bukan berarti bahwa RUPS dapat melakukan lingkup tugas dan wewenang direksi dan
dewan komisaris, melainkan hanya mengenai wewenang RUPS yang tidak diserahkan
kepada direksi dan dewan komisaris. Hal tersebut sejalan dengan pendapat M.
Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas” yang menyatakan bahwa
pada hakikatnya ketiga organ PT memiliki kedudukan yang sejajar dan harus
menjalani tugas dan kewajibannya secara berdampingan sesuai dengan teori
pemisahan kewenangan (separation of power).
Berdasarkan dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa RUPS merupakan
tempat berkumpulnya para pemegang saham untuk dapat mengambil suatu keputusan
yang berkaitan tentang perseroan. Menurut UU PT Pasal 79 ayat (2), RUPS dapat
diselenggarakan atas dasar permintaan atau permohonan dari satu atau lebih
pemegang saham yang mewakili sepersepuluh atau lebih dari jumlah seluruh saham.
Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham
minoritas, yang memiliki saham yang lebih sedikit dibandingkan dengan pemegang
saham mayoritas.[16]
Selain memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas, ketentuan
tersebut juga memberikan landasan kepada para pemegang saham untuk dapat
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, salah satunya adalah hak untuk
hadir dan memberikan suara dalam RUPS, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat 1
huruf a UU PT.
Penyelanggara yang berhak untuk melaksanakan RUPS, sebagaimana diatur
dalam UU PT Pasal 79 ayat (1) adalah direksi dan direksi wajib meberitahukan
kepada seluruh pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 14 hari sebelum
pemanggilan. Namun, apabila direksi berhalangan untuk menyelenggarakan RUPS,
maka sesuai dengan Pasal 79 ayat (6), maka dewan komisaris berhak untuk
menyelenggarakan RUPS dan melakukan pemanggilan RUPS dan apabila dewan
komisaris juga tidak dapat menyelenggarakan RUPS, maka pemegang saham berhak
untuk menyelenggarakan RUPS dengan meminta penetapan dari pengadilan negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) UU PT, yaitu pemegang saham dapat meminta
penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan untuk menetapkan
pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
Adapun syarat pengambilan keputusan melalui RUPS menegaskan bahwa
terpenuhinya kuorum suara mayoritas dari para pemegang saham, yang besarannya
disesuaikan dengan jenis atau materi mata acara yang dibahas dalam rapat
tersebut. Dalam menentukan suatu keputusan, RUPS mewajibkan seluruh pemegang
saham dengan hak suara yang sah untuk hadir menggunakan suaranya. Oleh karena
itu kuorum suara dalam RUPS menjadi hal yang mutlak diperhatikan. Pasal 84 dan
Pasal 85 UU PT menentukan bahwa yang berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak
suaranya adalah pemegang saham dengan hak suara yang sah, baik pemiliknya
sendiri maupun dengan kuasa tertulis yang sah. Dalam pemungutan suara, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai
kuasa dari pemegang saham.[17] Mengenai besaran kuorum
RUPS diatur dalam Pasal 86, 88, dan 89 UU PT tergantung dengan mata acara yang
dibahas.
Perihal pemberhentian anggota direksi umumnya dilakukan melalui
persetujuan RUPS oleh para pemegang saham, sebagaimana diatur dalam Pasal 105
(1) UU PT, yaitu pemegang saham harus
mengadakan RUPS Luar Biasa dengan mata acara yang khusus membicarakan tentang
pemberhentian anggota direksi dan keputusan pemberhentiannya juga harus
disertai dengan alasan yang jelas. Anggota direksi yang ingin diberhentikan
tersebut harus diberikan kesempatan untuk membela diri dalam RUPS, sebagaimana
diatur dalam Pasal 105 ayat (2) UU PT. Adapun kuorum yang dibutuhkan untuk
menggantikan dan memberhentikan anggota direksi adalah ½ atau sekitar 50% dari
total seluruh pemegang saham, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU PT.
Kemudian, apabila RUPS pertama tersebut gagal untuk mendapatkan kuorum, maka
menurut Pasal 86 (4) UU PT, para pemegang saham dapat melaksanakan RUPS kedua
dengan kuorum 1/3 dari total seluruh jumlah pemegang saham dalam PT tersebut
dan apabila RUPS kedua tersebut gagal untuk mencapai kuorum, maka pemegang
saham dapat melaksanakan RUPS ketiga dengan meminta izin melalui pengadilan
negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (6) UU PT.
Dengan demikian, untuk mengambil suatu keputusan dalam penggantian dan
pemberhentian anggota direksi melalui RUPS, maka kuorum pemegang saham dari
total seluruh pemegang saham yaitu sejumlah ½ atau 50% pemegang saham harus
menyetujui keputusan melalui forum RUPS tersebut. Kemudian setelah para
pemegang saham berhasil untuk mengambil suatu keputusan, yaitu menggantikan dan
memberhentikan anggota direksi, maka langkah selanjutnya adalah anggota direksi
yang lain wajib mencatat keputusan tersebut ke dalam berita acara RUPS dan
kemudian berita acara tersebut harus dituangkan dalam akta notaris, dan direksi
wajib memberitahukan perubahan data tersebut kepada Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia melalui Sistem Administrasi Badan Hukum Umum, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 94 ayat (7) UU PT.
B. Pemberhentian
Anggota Direksi oleh Pemegang Saham melalui Keputusan Sirkuler
Secara filosofi, keputusan sirkuler merupakan mekanisme alternatif
pengganti yang diatur dalam UU PT kepada para pemegang saham untuk mengambil
suatu keputusan, apabila mereka tidak dapat melaksanakan RUPS baik secara
langsung atau tidak langsung.[18] Mekanisme tersebut awalnya
merupakan pertimbangan dari pendapat akhir Presiden atas Rancangan
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dalam Rapat Paripurna Terbuka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan maksud bahwa
“sebagai upaya dalam mengantisipasi perkembangan Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bersifat futuristik (terkait dengan keterbatasan jarak, tempat dan
waktu penyelenggaraan RUPS, maka
ditentukan mekanisme
alternatif dalam penyelenggaraan RUPS
tanpa kehadiran pemegang saham
secara fisik yakni
melalui RUPS media elektronik
atau melalui keputusan sirkuler.[19] Adapun keputusan sirkuler
diatur hanya dalam 1 (satu) pasal saja dalam UU PT, yaitu Pasal 91 UU PT, yang
menyatakan:
“Pemegang saham dapat
juga mengambil keputusan yang mengikat
di luar RUPS
dengan syarat semua
pemegang saham dengan hak
suara menyetujui secara
tertulis dengan menandatangani usul
yang bersangkutan.”
Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal
91 UU PT menjelaskan bahwa keputusan di luar RUPS dalam praktiknya disebut
dengan suatu usul keputusan yang diedarkan, yaitu keputusan sirkuler (circular
resolution). Adapun pengambilan
keputusan sirkuler dilakukan dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang
akan diputuskan kepada seluruh pemegang saham dan usul tersebut harus disetujui
secara tertulis oleh seluruh pemegang saham, dengan tujuan untuk mendapatkan
kekuatan hukum yang mengikat selayaknya RUPS. Sedangkan menurut Black Law
Dictionary, keputusan sirkuler adalah resolusi anggota yang memuat tanda tangan
semua anggota sehingga efektif. Dengan demikian, persyaratan mutlak dari
keputusan sirkuler adalah persetujuan seluruh pemegang saham, yaitu kuorum 100%
dari total seluruh pemegang saham. Apabila salah satu pemegang saham tidak
menyetujui keputusan tersebut, maka akibat hukum dari keputusan sirkuler adalah
keputusan sirkuler tersebut harus dinyatakan batal demi hukum dan cacat secara
yuridis (null and void).[20]
Berdasarkan dari uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa keputusan sirkuler awalnya merupakan mekanisme alternatif
pengganti RUPS kepada para pemegang saham. Namun, seiring perkembangan zaman
keputusan sirkuler telah menjadi suatu hal yang lazim dan populer digunakan
oleh para pemegang saham. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, seperti
pelaksanaan keputusan sirkuler yang cenderung lebih mudah dibandingkan dengan
RUPS yang membutuhkan pertemuan baik secara langsung dan tidak langsung, serta
lebih efisien digunakan dikarenakan prosesnya yang cepat dan mudah. Akan
tetapi, hal tersebut justru menimbulkan beberapa polemik dalam pengambilan
keputusan PT, yaitu terdapat potensi penyalahgunaan keputusan sirkuler oleh
para pemegang saham, salah satunya adalah pemberhentian anggota direksi secara
sepihak melalui keputusan sirkuler, sebagaimana yang terlihat dalam contoh
kasus Putusan Perdata Nomor 508/Pdt.G/2021/Pn.Jkt.Pst. Kasus ini
dilatarbelakangi oleh penerbitan keputusan sirkuler secara sepihak oleh para
pemegang saham dan dewan komisaris PT. FMJ mengenai pemberhentian anggota
direksi dan perubahan susunan saham yang dibuat berdasarkan Akta Tanggal 27
April 2020 tentang Pernyataan Keputusan Sirkuler Pengganti RUPS.
Pasalnya menurut Pasal 105 ayat (3) UU
PT, pemberhentian anggota direksi melalui keputusan sirkuler dapat dilakukan
oleh para pemegang saham, dengan ketentuan bahwa anggota direksi yang
bersangkutan harus diberitahukan terlebih dahulu secara tertulis dan anggota
direksi tersebut wajib diberikan kesempatan untuk menyampaikan pembelaan
dirinya secara tertulis, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 105 ayat
(3) UU PT. Ketentuan ini serupa dengan ketentuan mekanisme pemberhentian
melalui RUPS, yaitu sama-sama wajib diberikan kesempatan untuk membela diri.
Apabila ketentuan tersebut tidak diikuti, maka pemberhentian tersebut akan
dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum karena melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan dari kedua cara
pemberhentian anggota direksi diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
pemberhentian anggota direksi baik melalui RUPS dan keputusan sirkuler haruslah
diberikan kesempatan untuk “membela diri”, serta pemberhentian tersebut harus
disertai dengan “alasan” yang jelas. Hal tersebut merupakan ketentuan tersebut
bersifat “imperatif” dan harus dipatuhi oleh setiap PT di Indonesia.[21] Namun, meskipun UU PT
sudah secara tegas dan lugas menyatakan bahwa ketentuan tersebut wajib untuk
ditaati, namun nyatanya hingga saat ini masih terdapat banyak penyalahgunaan
keputusan sirkuler oleh organ di PT, seperti tidak adanya kesempatan untuk membela
diri kepada organ PT yang diberhentikan atau tidak adanya pemberitahuan terkait
perubahan susunan anggota direksi kepada pihak yang bersangkutan. Oleh karena
itu, diperlukan rumusan mengenai perlindungan hukum bagi direksi yang
diberhentikan melalui keputusan sirkuler dan hasil analisis perbandingan
pengaturan keputusan sirkuler dengan negara lain.
IV.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DIREKSI YANG DIBERHENTIKAN MELALUI KEPUTUSAN SIRKULER
Menurut
Soetino, perlindungan hukum tindakan atau usaha dalam melindungi masyarakat
dari perbuatan yang semena-mena penguasa atau tidak sesuai dengan aturan yang
berlaku sehingga manusia dapat menikmati martabatnya sebagai manusia yang utuh
demi menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.[22]
Selanjutnya, menurut Muschin dalam teori perlindungan hukum, terdapat dua
bentuk perlindungan hukum, yaitu bentuk perlindungan hukum yang bersifat
preventif dan bentuk perlindungan hukum yang bersifat represif.[23]
Phillipus M. Hadjon, dalam bukunya “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”,
menerangkan bahwa perlindungan secara preventif merupakan perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya
pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan dengan maksud
untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau
batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban. Adapun perlindungan hukum
secara preventif bagi anggota direksi dapat dilaksanakan melalui prinsip bussiness judgement rule (selanjutnya disebut
sebagai BJR dalam penulisan ini). Prinsip ini bertujuan untuk melindungi
Direksi dari setiap keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan Perseroan.[24]
Prinsip
BJR sejatinya termaktub dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT, yang mengatur mengenai
penghapusan pertanggungjawaban direksi, yaitu apabila direksi dapat
membuktikkan bahwa (1) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya; (2) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
(3) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan (4) telah mengambil
tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Apabila
direksi dapat membuktikkan dirinya, maka direksi tidak dapat diminta
pertanggungjawaban.[25]
Selain itu
perlindungan secara preventif bagi direksi juga dapat dilaksanakan melalui keberadaan
fungsi pengawasan yang dijalankan oleh dewan komisaris. Berdasarkan pedoman
yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), dewan
komisaris merupakan salah satu organ perseroan yang memiliki tugas dan tanggung
jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan serta memberikan nasihat
kepada direksi. Selain itu, dewan komisaris juga berperan dalam memastikan
implementasi prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara efektif dan
efisien di lingkungan perusahaan.[26]
Dengan kata lain, fungsi dewan komisaris bertujuan untuk memastikan apakah
kinerja anggota direksi telah dilakukan dengan itikad baik, serta untuk
memastikan kepengurusan perusahaan dilakukan sesuai dengan maksud, tujuan, dan
anggaran dasar perusahaan. Sedangkan perlindungan hukum secara represif, dapat
dilaksanakan melalui pemberian sanksi/hukuman melalui jalur litigasi.
Adapun
perlindungan hukum terhadap pemberhentian direksi secara sepihak melalui
keputusan sirkuler, sejatinya telah diatur melalui mekanisme pembelaan diri di
dalam UU PT Pasal 105 ayat (3), yaitu anggota direksi diberikan kesempatan
untuk membela diri secara tertulis. Namun mekanisme ini memiliki beberapa celah
hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu terdapat resiko
penyalahgunaan keputusan sirkuler seperti tidak memberitahukan keputusan
sirkuler kepada pihak yang bersangkutan, dan terdapat resiko pemalsuan tanda
tangan. Hal tersebut dikarenakan UU PT saat ini tidak memberikan pengaturan
lebih lanjut mengenai mekanisme serta prosedur dan jangka waktu atau bahkan
pembatasan penggunaan keputusan sirkuler. Oleh karena itu penulis membawa
perbandingan regulasi keputusan sirkuler dengan negara lain, yaitu negara
Singapura, Australia, dan Britania Raya, sebagaimana akan dijabarkan dibawah.
A. Perbandingan Pengaturan Keputusan Sirkuler
dengan Negara Lain
Di negara
Singapura, pengambilan keputusan sirkuler dikenal dengan istilah “written resolution”
yang diatur dalam Companies Act 1967 Chapter 50 art.
184DA. Dalam pengaturan tersebut dinyatakan bahwa keputusan sirkuler harus
disetujui dalam waktu 28 (dua puluh) hari sejak keputusan tersebut dibuat.
Apabila melebihi jangka waktu 28 (dua puluh) delapan hari, maka keputusan
tersebut batal. Selain itu, regulasi di Singapura membuka kesempatan
diadakannya rapat secara fisik apabila 5% (lima persen) dari pemegang saham
tidak menyetujui keputusan tertulis tersebut selama 7 (tujuh) hari keputusan
tersebut diedarkan seperti bunyi Companies Act Chapter 50 art.
184D part (1):
(1)
Any member or
members of a private company or an unlisted public company representing at
least 5% of the total voting rights of all the members having the right to vote
on a resolution at a general meeting of the company may, within 7 days after
(a) the text of the resolution has been sent to him or them in
accordance with section 184C; or
(b) the documents referred to in section 183(3A) in respect of the
resolution have been served on him or them, as the case may be, give notice to
the company requiring that a general meeting be convened for that resolution.
Sementara, di negara Britania Raya, keputusan
sirkuler dikenal dengan istilah yang sama dengan negara Singapura, yaitu ”written
resolution” yang diatur dalam Companies Act 2006 Chapter.2
art. 288 – 300. Dalam pengaturan tersebut, diterangkan bahwa bahwa organ
yang berhak untuk menyelenggarakan keputusan sirkuler adalah direksi, kemudian
perusahaan yang dapat menggunakan keputusan sirkuler adalah perusahaan privat,
prosedur dan jangka waktu persetujuan keputusan sirkuler tersebut. Selain itu,
pengaturan tersebut juga menegaskan bahwa keputusan sirkuler tidak dapat
dilakukan untuk memberhentikan anggota direktur atau auditor sebelum
berakhirnya masa jabatan mereka, sebagaimana tercantum dalam bunyi Companies
Act 2006 Chapter. 2 art. 288:
(1)
This section
introduces the written resolution provisions of this Chapter. They apply to
private companies only. Subsection (2)(a) and (b) reproduce the two exceptions
currently provided for in Part 1 of Schedule 15A to the 1985 Act: a resolution
to remove a director or an auditor before the expiration of his term of office
may not be passed as a written resolution. These are the only two exceptions to
a private company’s right to pass resolutions using the written resolution
procedure
Di negara
Australia, istilah keputusan sirkuler dikenal dengan “resolutions in
writing” yang diatur dalam Corporation Act 2001-Sect
248A. Mekanisme keputusan sirkuler di Negara Australia tidak jauh berbeda
dengan negara Singapura dan negara Amerika Serikat. Namun, terdapat pembeda
antara pengaturan keputusan sirkuler antara negara Australia dan negara
Singapura dan negara Amerika serikat, yaitu negara Australia memberikan
pembatasan lebih rinci mengenai penggunaan keputusan sirkuler, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut:[27]
(1)
Pemberhentian
direktur: Corporations Act 2001 menyatakan bahwa seorang direktur hanya
dapat diberhentikan melalui resolusi biasa yang disahkan pada rapat umum
perusahaan, sehingga hal ini tidak dapat dilakukan melalui resolusi sirkuler.
(2)
Mengubah
konstitusi: Corporations Act 2001 menyatakan bahwa perubahan konstitusi
perusahaan hanya dapat dilakukan dengan resolusi khusus yang disahkan pada
rapat umum perusahaan.
(3)
Persetujuan
laporan keuangan: Corporations Act 2001
mewajibkan laporan keuangan disetujui dalam rapat umum perusahaan.
Resolusi sirkuler tidak dapat digunakan untuk menyetujui laporan keuangan.
(4)
Penunjukan atau
pemberhentian auditor: Berdasarkan Corporations Act 2001, penunjukan
atau pemberhentian auditor hanya dapat dilakukan dengan resolusi biasa yang
disahkan pada rapat umum perusahaan
(5)
Persetujuan
atas transaksi substansial: Dalam hal transaksi substansial, seperti penjualan
aset yang signifikan, Corporations Act 2001 dapat mensyaratkan bahwa
transaksi tersebut disetujui oleh resolusi khusus yang disahkan pada rapat umum
perusahaan
Berdasarkan
hasil perbandingan terhadap pengaturan mengenai keputusan sirkuler di tiga
negara, yakni Singapura, Australia, dan Britania Raya, dapat disimpulkan bahwa
masing-masing negara memiliki ketentuan yang berbeda-beda terkait implementasi
keputusan sirkuler dalam praktik korporasi. Di pengaturan negara Singapura
memberikan ruang bagi pemegang saham untuk menolak keputusan tertulis apabila
terdapat pihak yang keberatan dari setidaknya 5% pemegang saham, sehingga
perusahaan wajib menyelenggarakan rapat secara fisik. Sementara itu, negara
Australia dan Britania Raya secara tegas membedakan kewenangan antara RUPS dan
keputusan sirkuler. Salah satu batasan yang ditetapkan adalah pelarangan
penggunaan mekanisme keputusan sirkuler untuk memberhentikan anggota direksi.
Berdasarkan
hasil analisis perbandingan terhadap pengaturan mengenai keputusan sirkuler di
Indonesia dengan negara Singapura, Britania Raya, dan Australia, ditemukan
bahwa Indonesia memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal regulasi
tersebut. Regulasi keputusan sirkuler di Indonesia belum mengatur secara rinci
mengenai mekanisme, prosedur, maupun jangka waktu penggunaan keputusan
sirkuler. Selain itu, tidak terdapat pembatasan yang jelas mengenai ruang
lingkup penggunaan keputusan sirkuler dalam praktik tata kelola perusahaan.
Berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Singapura, Britania Raya, dan
Australia, di mana regulasi keputusan sirkuler secara eksplisit mengatur
mengenai prosedur serta batas waktu penggunaan keputusan sirkuler. Negara-negara
tersebut juga menerapkan pembatasan terhadap penggunaan keputusan sirkuler,
misalnya tidak melarang penggunaan keputusan sirkuler untuk memberhentikan
anggota direksi atau mengubah anggaran dasar. Sebaliknya, di Indonesia,
penggunaan keputusan sirkuler masih dimungkinkan untuk memberhentikan anggota
direksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 ayat (3) UU PT. Ketentuan ini kerap
menimbulkan persoalan hukum, khususnya bagi anggota direksi yang diberhentikan
tanpa melalui prosedur pemberitahuan atau tanpa diberikan kesempatan untuk
membela diri.
Praktik
penyalahgunaan keputusan sirkuler tersebut dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melawan hukum, karena tidak memenuhi prinsip keadilan dan kepastian
hukum. Tidak adanya regulasi yang mengatur secara tegas mengenai tata cara
pemberhentian melalui keputusan sirkuler berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam sistem tata kelola perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu,
diperlukan pengaturan hukum yang lebih komprehensif dan tegas terkait
mekanisme, prosedur, dan batasan penggunaan keputusan sirkuler, khususnya dalam
konteks pemberhentian organ pengurus perusahaan.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan
dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki
pengaturan yang signifikan mengenai pengambilan keputusan melalui keputusan
sirkuler. Peraturan mengenai keputusan sirkuler hanya diatur melalui Pasal 91
UU PT dan belum ada peraturan turunan atau pelaksanaan lainnya dari keputusan
sirkuler. Berbeda dengan negara Singapura, Britania Raya, dan Australia yang
mengatur secara rinci mekanisme penggunaan keputusan sirkuler serta pembatasan
penggunaan keputusan sirkuler, salah satunya adalah larangan penggunaan
keputusan sirkuler untuk memberhentikan anggota direksi. Berbeda dengan negara
Indonesia yang mengizinkan pemberhentian anggota direksi melalui keputusan
sirkuler, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 ayat (3) UU PT.
Namun,
yang menjadi permasalahan adalah ketentuan mengenai keputusan sirkuler dalam UU
PT masih terbatas pada persyaratan formal, tanpa pengaturan yang lebih rinci
mengenai mekanisme pelaksanaannya. Ketiadaan pengaturan ini menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam praktik korporasi, khususnya dalam hal pemberhentian
anggota direksi melalui keputusan sirkuler. Prosedur ini berisiko mengabaikan
hak anggota direksi untuk membela diri secara layak, karena pembelaannya hanya
disampaikan secara tertulis tanpa forum terbuka sebagaimana dalam RUPS. Hal ini
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di antara organ perseroan dan
mengurangi transparansi dalam pengambilan keputusan, sehingga perlu adanya
reformulasi kebijakan atau pengaturan yang lebih komprehensif mengenai
penggunaan keputusan sirkuler dalam konteks pemberhentian direksi.
Berdasarkan
kesimpulan tersebut, penulis menyarankan agar pemerintah, khususnya Presiden
dan DPR, melakukan revisi terhadap Pasal 91 UU PT guna memperjelas batas
kewenangan antara RUPS dan keputusan sirkuler. Revisi ini sebaiknya mencakup:
(1) kewajiban konsultasi atau rapat sebelum pengambilan keputusan sirkuler; (2)
pengaturan prosedur dan jangka waktu penggunaan keputusan sirkuler, misalkan:
ditetapkan selama 28 hari; (3) pembatasan penggunaan keputusan sirkuler hanya
untuk hal-hal administratif, serta (4) larangan penggunaannya dalam
pemberhentian direksi, kecuali jika direksi yang bersangkutan tidak menyatakan
keberatan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah potensi penyalahgunaan
wewenang serta memastikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
pengambilan keputusan di dalam PT, serta menciptakan perlindungan hukum yang
optimal bagi anggota direksi PT.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Mulhadi. Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan
Usaha di Indonesia. Depok: Raja Grafindo Persada. 2020.
Muhammad,
Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
2010.
Mertokusumo,
Sudikno. Mengenal Suatu Hukum Pengantar. Yogyakarta: Liberty. 1999.
Muchsin.
Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Surakarta:
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2003.
Soersoso.
Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Sutedi,
Adrian. Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Raih Asa Sukses.
2015.
Usman,
Rachmandi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: PT
Alumni. 2004.
B. Jurnal
Adipratama,
Wiradhanta Bagus Ngurah Agung Anak. “Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham Dalam
Anggaran Dasar Perseroan Terbatas”. Jurnal Hukum Sasana 8. No. 2 (2022):
306.
Dewi,
Sandra. “Karakteristik Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”. Jurnal
Ensiklopedia 1. No. 3 (2019): 114.
Faisal, Ulfa Fadlyna, dkk.
“Pelaksanaan Circular Resolution Pada Perseroan Terbatas". Universitas
Hasanuddin (2021): 4.
Hadi, Desiputri Shigeko.
“Prinsip Business Judgement Rule dalam Pertanggungjawaban Hukum Direksi BUMN
Yang Melakukan Tindakan Investasi yang Mengakibatkan Kerugian”. ACTA DIURNAL
Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 4. No. 2 (2021): 172.
Irsan, Muhammad Andi, dkk.
“Analisis Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas Pada Klausula Circular Resolution Rapat Umum Pemegang Saham”. Indonesian
Journal of Legality of Law 1. No. 2 (2019): 66.
Meliawati,
dkk. “Kepastian Hukum dalam Penerapan Platform E-Voting Pada Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas yang Dilaksanakan Melalui
Telekonferensi”. Jurnal Riset Ilmiah 3. No. 1 (2023): 39.
Muttaqin, Zaenal. “Kedudukan
Akta Notaris Yang Dibuat Berdasarkan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Secara
Sirkuler Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”. Jurnal
Mustika Justice 3. No. 2 (2024):
4.
Putri, Rahman Inzafani, dkk.
“Kepastian Hukum Keputusan Pemegang Saham Dengan Metode Circular Resolution
Dalam Penggantian Direksi Perseroan Terbatas”. Jurnal Multidisiplin
Indonesia 2. No. 9 (2023):
2987.
Nalendra
Pradipto, dkk. “Pemberhentian Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Dalam
Kepailitan Melalui Circular Resolution”. Jurnal Suara Hukum 4.
No. 1 (2022): 94.
Shobirin,
Zhafran Muhammad, dkk. “Pertanggungjawaban Pemegang Saham terhadap Kerugian
yang Terjadi pada Perseroan Terbatas”. Jurnal Ilmu Hukum 1. No. 2
(2024): 80.
Utami, Fajar Oktavia dan
Krido Eko Cahyono. “Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris, Dewan Komisaris
Independen, Komite Audit, dan Struktur Kepemilikan Institusi Terhadap
Pengungkapan Manajemen Resiko pada Perusahaan Telekomunikasi yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen 12. No. 6 (2023):
5.
Wildayanti dan Kasjim Salenda.
“Penerapan Prinsip Bussiness Judgement Rule (BJR) Terhadap Direksi Perusahaan
Terbatas”. Alauddin Law Development Journal 4. No. 3 (2022): 507.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas. UU No. 40 Tahun 2007. LN No. 106 Tahun 2007. TLN
No. 4756.
Singapura.
Companies Act 1967.
Australia.
Corporations Act 2001.
Britania Raya.
Companies Act 2006
D. Putusan
Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 508/PDT.G/2021/PN.Jkt.Pst.
E. Internet
Cimbniaga. “RUPS dan Perannya dalam
Pengambilan Keputusan Perusahaan Terbatas”. https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/bisnis/rups.
diakses pada 14 Juli 2025.
Governance
Glossary. “Circular Resolution”.
https://betterboards.net/glossary/circularresolution/. diakses pada 23 Mei
2025.
[1] Mulhadi, Hukum
Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Depok: Raja Grafindo
Persada, 2020), 97.
[2] Sandra Dewi, “Karakteristik
Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”, Jurnal Ensiklopedia 1, No. 3 (2019):
114.
[3] Mulhadi, Op.cit., 99.
[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum
Perusahaan Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), 137.
[5] Meliawati, dkk,
“Kepastian Hukum dalam Penerapan Platform E-Voting Pada Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) Perseroan Terbatas yang Dilaksanakan Melalui Telekonferensi”, Jurnal
Riset Ilmiah 3, No. 1 (2023): 39.
[6] Fadlyna Ulfa Faisal, dkk, “Pelaksanaan
Circular Resolution Pada Perseroan Terbatas", Universitas Hasanuddin
(2021): 4.
[7] Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 91.
[8] Putusan Perdata
Pengadilan Negeri Nomor 508/PDT.G/2021/PN JKT.PST.
[9] Jan M. Otto, dikutip dari
Soersoso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 20.
[10] Sri Redjeki Hartono, Bentuk
Bentuk Kerjasama dalam Dunia Niaga, Universitas Semarang (1985): 47.
[11] Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 48.
[12] Adrian Sutedi, Buku Pintar
Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), 150.
[13] Muhammad
Zhafran Shobirin, dkk, “Pertanggungjawaban Pemegang Saham terhadap Kerugian
yang Terjadi pada Perseroan Terbatas”, Jurnal Ilmu Hukum 1, No. 2 (2024):
80.
[14] Cimbniaga, “RUPS dan Perannya
dalam Pengambilan Keputusan Perusahaan Terbatas”, https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/bisnis/rups, diakses pada 14 Juli 2025.
[15] Anak Agung
Ngurah Bagus Wiradhanta Adipratama, “Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham Dalam
Anggaran Dasar Perseroan Terbatas”, Jurnal Hukum Sasana 8, No. 2 (2022):
306.
[16] Muhammad
Zhafran Shobirin, dan Erio Agustia Rachman, “Pertanggungjawaban Pemegang Saham
terhadap Kerugian yang Terjadi pada Perseroan Terbatas”, Jurnal Ilmu Hukum
1, No. 2 (2024): 78.
[17] Rachmandi Usman, Dimensi
Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: PT Alumni, 2004), 143.
[18] Inzafani Rahman Putri, dkk, “Kepastian
Hukum Keputusan Pemegang Saham Dengan Metode Circular Resolution Dalam
Penggantian Direksi Perseroan Terbatas”, Jurnal Multidisiplin Indonesia
2, No. 9 (2023): 2987.
[19] Andi Muhammad Irsan, dkk, “Analisis
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pada
Klausula Circular Resolution Rapat Umum Pemegang Saham”, Indonesian Journal
of Legality of Law 1, No. 2 (2019): 66.
[20] Zaenal Muttaqin, “Kedudukan
Akta Notaris Yang Dibuat Berdasarkan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Secara
Sirkuler Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”, Jurnal
Mustika Justice 3, No. 2 (2024): 4.
[21] Nalendra
Pradipto, dkk, “Pemberhentian Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Dalam
Kepailitan Melalui Circular Resolution”, Jurnal Suara Hukum 4,
No. 1 (2022): 94.
[22] Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Suatu Hukum Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 5.
[23] Muchsin, Perlindungan dan
Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta: Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), 20.
[24] Shigeko Desiputri Hadi, “Prinsip
Business Judgement Rule dalam Pertanggungjawaban Hukum Direksi BUMN Yang
Melakukan Tindakan Investasi yang Mengakibatkan Kerugian”, ACTA DIURNAL
Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 4, No. 2 (2021): 172.
[25] Wildayanti dan Kasjim Salenda,
“Penerapan Prinsip Bussiness Judgement Rule (BJR) Terhadap Direksi Perusahaan
Terbatas”, Alauddin Law Development Journal 4, No. 3 (2022): 507.
[26] Oktavia Fajar Utami dan Krido
Eko Cahyono, “Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris, Dewan Komisaris Independen,
Komite Audit, dan Struktur Kepemilikan Institusi Terhadap Pengungkapan
Manajemen Resiko pada Perusahaan Telekomunikasi yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia”, Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen 12, No. 6 (2023): 5.
[27] Governance Glossary, “Circular
Resolution”, https://betterboards.net/glossary/circularresolution/, diakses pada
23 Mei 2025
Comments
Post a Comment